Jumat, 14 Juni 2019

Sekolah: Produk Proxy Terlaris




“Sekolah peninggalan kompeni, hanya akan melahirkan ijazah untuk menjadi buruh.”
—Suwardi Suryaningrat

Peringatan penting Suwardi atau yang lebih dikenal bernama Ki Hajar Dewantara (KHD), tidak terbaca penting. Barangkali, gema suaranya sama sekali tak terdengar keras dan melengking. Riwayat gagasan KHD seolah berhenti di baju seragam; tut wuri handayani. Riwayat perjuangan di jalur pendidikannya pun seolah berhenti oleh gelar pahlawan dan berjuluk Bapak Pendidikan Nasional. Selesai. Tak ada lagi yang bisa dibicarakan lebih luas. Atau kita masih beruntung, memiliki ingatan yang barangkali disusul imaji bahwa di bulan Juli tahun 1913, negeri ini dikagetkan dengan tulisan dalam harian De Express dengan judul “Als ik eens Nederlander was…” yang artinya “Seandainya saya orang Belanda…” Dan tentu, tulisan KHD sebagai protes serius pada kolonial yang mengajakpaksa pribumi merayakan peringatan kemerdekaan Belanda dari Prancis.

Dampak dari tak terbacanya gagasan KHD dengan lengkap dan cermat, melahirkan mindset bahwa bersekolah itu penting. Sekolah sebagai politik etis Belanda memang memiliki doktrin; siapa bisa lulus sekolah, bakal diberi pekerjaan. Perbandingan lulusan sekolah dan tidak, bisa dibaca di buku Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku (2011) garapan Suparto Brata. Buku berkisah perbandingan upah atau gaji bagi siapa yang bekerja tanpa bisa baca-tulis, tentu dalam huruf latin, dan yang tidak bisa baca-tulis sebab tak bersekolah. Upah bagi yang bisa baca-tulis berlipat-lipat lebih besar dan lebih “nyaman” tidak berjibaku dengan pacul, palu, linggis, dan sebagainya, melainkan memegang pena.

Snouck Hugronje (sumber:wikipedia)

Dan mindset semacam itu, tak lain jebakan Snouck Hurgronje sebagai pakar proxy untuk mengganti konsep perang simetris menjadi asimetris. Perang tak lagi berdarah-darah tapi racun-racun yang diberikan di bangku sekolah seolah menyatu dengan sel-sel darah. Dan tentu, rawan mendarahdaging. Alhasil, orang tua yang tak pernah kuliah bisa dengan yakin berkata pada anaknya bahwa kuliah itu sangat penting untuk masa depan(anak)nya. Pesantren tanpa sekolah menjadi sepi santri. Orang tua tak mau beresiko menitipkan nasib anaknya di pesantren “tradisional”. Beberapa pesantren mendadak tutup, terlepas dari kegagalan mendapat santri atau memang sengaja ditutup sebab sadar kehadiran modernitas yang didukung Pemeritah Orde Baru bahwa semua anak wajib sekolah 9 tahun. Sehingga ijazah diniyah terabaikan baik untuk melamar pekerjaan di pemerintahan maupun perusahaan swasta.

Sekolah dalam Buku
Sekolah ala pemerintah tentu berbeda dengan Sokola yang digagas Butet Manurung. Sokola tidak diadakan sebagai produk proxy entah pengaburan sejarah atau penanaman doktrin-doktrin yang beracun. Salah satu tujuan Butet, selain pemerataan pendidikan, adalah membebaskan Suku Anak Dalam dari hitungan yang palsu di mana mereka menjual kayu atau pun hasil dalam hutan ke orang luar tanpa hitungan yang benar. Dan selalu saja dibodohi dan dirugikan. Kisah diceritakan apik dalam novel yang berangkat dari cacatan harian Butet dengan judul Sokola Rimba (2013).

Dengan hadirnya sekolah, sejarah lebih mudah dirubah. Sebab sekolah seolah mengajarkan kebenaran. Dan kekuasan Orde Baru yang mencapai 32 tahun, tentu menikmati sekolah sebagai produk proxy yang istimewah. Program-program seperti wajib sekolah dan jargon pembangunan disusupkan pada naskah cerita buku-buku sekolah. Akhirnya, kita tak heran membaca buku-buku sekolah terbitan Pemerintah Orde Baru memiliki intimitas dengan kata “pembangunan” dan “wajib sekolah”. Di tahun 2014, Bilik Literasi atau rumah joglo milik kritikus sastra Bandung Mawardi mengadakan obrolan tentang buku anak dalam acara Tiga Hari Berhuruf. Peserta disuguhi buku-buku lawas yang didominasi terbitan masa Orde Baru. Menariknya, satu buku memaksakan kata “sekolah” masuk dalam cerita pewayangan. Alhasil, dalam sebuah cerita, Arjuna dikisahkan bersekolah pada Resi Durna. Dan sebab sekolah itulah, Arjuna bisa menjadi sakti. Wah!

Buku apik tentang sekolah pada masa Orde Baru bisa kita temui dengan judul Totto Chan (1981) garapan Tetsuko Kuroyanagi. Tentu saja bukan buku Indonesia melainkan Jepang. Buku dengan judul asli Madogiwa no Totto-Chan tersebut baru masuk Indoneisa tahun 2008 dan diterbitkan Penerbit Gramedia dengan judul Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela. Novel ditulis berdasarkan kisah nyata tentan seorang tokoh kecil bernama Totto Chan yang dikeluarkan dari sekolah “formal”. Seorang anak kecil yang suka menggambar di kertas sampai tak ada ruang kosong dalam kertas tersebut sehingga merembet pada meja, harus dikeluarkan dari sekolah. Di sekolah baru Totto Chan menghadap Kepala Sekolah dan disuruh bercerita tentang apa yang ia sukai. Selama empat jam penuh kepala sekolah mendengarkan cerita sambil tertawa, mengangguk kepala, dan berkata “lalu” setiap Totto Chan berhenti cerita. Di sekolah dari gerbong kereta itu, murid yang memang hanya sedikit dibebaskan belajar apa saban harinya. Dan murid yang sedikit itu kelak jadi penyair, dokter, tentara, pengusaha, dan Totto Chan sendiri menjadi penulis dengan pelbagai penghargaan juga mendirikan teater professional pertama di Jepang untuk tunarungu.

Buku apik lainnya berjudul Saga no Gabai Bachan dan tentu masih seputar Jepang. Novel garapan Yoshichi Shimada yang diterbitkan dalam bahasa Indoensia oleh Penerbit Kansha Book tahun 2011 ini berkisah tentang tokoh Akihiro dan neneknya. Di mana kesulitan atau masalah yang dihadapi Akihiro di sekolahnya bisa diatasi neneknya. Misal saja, nilai jelek Akihiro pada sebuah bahasa Jepang tertentu. Neneknya dengan santai berkata “Ya tidak apa-apa kan kita tidak pakai bahasa itu.” Akihiro adalah korban bom Hiroshima dan ia harus dititipkan dengan neneknya, Aosi. Oleh alasan itu, Nenek Aosi tak ingin sama sekali Akihiro menanggung kesedihan lainnya. Jika tak berlebihan, novel ini berkisah sekolah sebagai pemberi masalah dan Nenek Aosi sebagai pemberi solusinya. Pesan kontroversi Nenek Aosi pada Akihiro adalah “Jangan sering-sering belajar, nanti jadi kebiasaan”. Nenek yang bijak. Duh!

Proxy dalam Pramistara
            Dalam Pramistara (Pesantren Ramadhan Islam Nusantara) yang ke-5, sekolah sebagai produk proxy kolonial dijelaskan lebih mendetail oleh K.Ng.H. Agus Sunyoto. Acara yang berlangsung selama 4 hari, 5-8 Mei 2019, diikuti oleh 40 santri yang diseleksi dari pelbagai pendaftar. Materi disampaikan dengan begitu luwes dari sejarah sampai perkembangannya terkini. Bagaimana jaringan kaki tangan kolonial dan kapitalisme global kemudian bergerak menduduki kursi pemerintahan. Kita kemudian membaca sejarah; Semasa Orde Baru perusahaan swasta bebas hutang luar negeri dan terjamin pemerintah, rupiah anjlok sedangkan dolar melonjak, Indonesia membuka hutang pada IMF, Freeport digerus dengan nama kontrak tembaga bukan emas, perusahaan luar bebas menanam modal di Indonesia, dsb dll dst. Jaringan sudah ditata sedemikian rupa dengan pelbagai skenario sulit diambrukkan. Gus Dur yang mencoba mengambrukkan pun justru diambrukkan. Dilengserkan dari kursi kepresidenan.

            Dalam Pramistara V, Romo Agus memperkenalkan nama-nama tokoh produk sekolah yang sebenarnya tidak asing dalam khazanah sejarah. Menjadi mengejutkan karena ada pemilahan tokoh yang benar-benar berjasa untuk Indonesia dan tokoh yang sebenarnya kaki tangan kolonial dan kapitalisme global. Beberapa nama disampaikan; H. Agus Salim, Soemitro, Sultan Syahrir Alisyahbana, Sjahrir, Amir Syaifuddin, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, Sema’un, Darsono, dan Soeharto, dikenalkan sebagai tokoh kaki tangan kolonial dan kapitalisme global. Bahkan H. Agus Salim (HAS) adalah intel jaringan mereka. Pernyataan tentu tidak ngawur. Data HAS sebagai intelijen ditemukan di catatan Snouck H dan buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984).

            Selain sekolah sebagai produk proxy, ada pula beberapa naskah yang patut dihindari atau dibaca dengan segala kesadaran bahwa naskah itu sebuah karya proxy. Ada Serat Darmogandul yang ditulis Ki Tunggulwulung, misionaris Kristen, untuk melemahkan Islam. Hampir secara keseluruhan berisi tentang pandangan negatif akan Islam. Salah satu kisah di dalamnya menceritakan tentang percakapan Brawijaya V yang baru memeluk Islam dengan pamomongnya yang bernama Sabda Palon dan Naya Genggong. Percakapan membahas detail tentang islam dan subtansinya. Sampai pada akhirnya, Brawijaya V menyesal telah masuk Islam. Naskah proxy lainnya, Suluk Gatoloco yang berkisah percakapan santri bernama Gatoloco dengan seorang ulama besar bernama Kiai Hasan Besari. Dalam suluk ini, terjadi perdebatan tentang islam dan kesejatian dan Kiai Hasan kalah. Naskah yang tak kalah seru dimengerti sebagai produk proxy adalah Kidung Sunda yang andil memecah Jawa-Sunda dengan dendam atas Perang Bubat yang lebih dikisahkan sebagai pembantaian keluarga kerajaan Sunda oleh Gajah Mada.

Akhirnya
            Bung Karno yang membaca pergerakan atau perubahan konsep perang pun dengan lantang mewariskan pesan serius: Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri. Dan kita, benar-benar sedang melawan saudara sebangsa kita sendiri untuk mempertahankan identitas bangsa kita dari agenda kapitalisme global; menghapus segala lokalitas sebagai identitas bangsa. Dan mereka (jaringan kapitalisme global) barangkali membaca buku Architects of Deception: The Concealed History of Freemansonry (2004) garapan Juri Lina. Di dalamnya dipaparkan cara melemahkan bangsa: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakana bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Dan ketiganya benar dialami Nusantara kita.

Pesan Bung Karno secara implisit mengabarkan adanya pergeseran dari perang simteris menuju asimetris. Selain dari pesan Bung Karno, adanya penjajahan tak langsung bisa terbaca pula dalam buku berjudul Jejak Pangan: Sejarah Silang Budaya dan Masa Depan (2009) garapan Andreas Maryoto. Ia menuliskan sebuah kegelisahan akan fakta agraria bahwa petani-petani yang dulunya membuat Ratu Belanda kaya raya, kini tetap miskin setelah merdeka. Barangkali sampai saat ini, tujuh puluh empat tahun pasca proklamasi, petani-petani tetap miskin.


Senin, 28 Mei 2018

Sys




Ini adalah bukit atau puncak di mana saudaraku menaruh sesembahan dulu. Aku mengetahuinya dari napasku: napak tilasku. Aku mengunjungi semua puncak gunung-gunung di negeri ini dengan meraba yang ada di dalam diri terlebih dahulu. Inilah puncak Janaka yang dikisahkan kitab-kitab tentang saudara-saudara serasaku. Letaknya tepat di samping gunung Pawitraan. Namaku Sys. Aku anak keempatpuluhsatu Adam dan Haua. Memang, sejarah terlanjur mencatat empat puluh bayi [tanpaku] dan kesemuannya terlahir berpasang-pasangan. Aku memang lahir di luar rahim, aku terproses di dalam wadah dari rasa Bapak dan Biyungku. Kelahiranku disebabkan perdebatan cara pernikahan dari keempatpuluh saudaraku. Bapak ingin menyilangkan mereka dengan dalih tak baik menikahi saudara kembar. Sedangkan Biyung berpikir bahwa itu sudah kehendak Sang Kuasa menjodohkan mereka di dalam rahim.

Aku adalah bayi rasa yang disempurnakan Bapak, sebab Biyungku mencoba mewujudkanku terlebih dulu dan hanya mampu terwujud separuh. Bapak beruntung, mendapat kesempatan kedua sehingga seolah-olah ia berhasil atas keseluruhannya. Padahal, masing-masing mereka hanya akan mewujudkan separuh sesuai kodrat Sang Kuasa. Akhirnya, keputusan diwenangkan pada Bapak dan terjadi pernikahan silang, mula-mula dari keempat saudaraku yang pertama. Pasangan kembar pertama bernama Hobil dan Hikh dan pasangan kedua bernama Habil dan Hyl. Persilangannya menjadi Habil dengan Hikh dan Hobil dengan Hyl. Hobil adalah saudaraku yang pendiam. Ia lahir bersaripati rindu yang bisu, begitupun Hikh. Mereka wujud rindu antara Bapak dan Biyung yang terpisah lama. Sedangkan Habil dan Hyl bersaripati aksara sebab Bapak kala itu rajin mengajarkan pengetahuan pada Biyung.

Jika boleh jujur, rasaku sudah terikat bersamanya (Hikh) sejak di dalam rahim Biyung, Pak.” Kata Hobil pada suatu malam purnama, sehari setelah pengumuman perjodohan silang dari Bapaknya. Sebagai Bapak, Adam mengerti masksud anaknya. Tiba-tiba ia meragu dalam diri: apa jangan-jangan keputusanku kurang tepat dan Haua justru benar sebagai pengandung mereka selama hampir setahun yang tentu turut merasakan proses perjodohan di dalam diri. Adam diam. Semua terlanjur. Hikh berparas lebih ayu dari saudarinya, Hyl. Maklumlah, ia bayi rindu. Sedangkan Hyl adalah bayi aksara.

***

Kala semua itu berlangsung, aku masih menjadi bayi rasa yang diam seolah di dalam kandungan walau sebenarnya aku di dalam wadah atau cupu. Aku tidak turut andil dalam perjodohan silang itu. Aku tak berpendapat apa-apa. Jika katamu: ya sebab kau masih bayi mana bisa berpendapat, tentu saja kau salah. Aku bisa berpendapat dengan tangis. Aku akan menolak perjodohan silang itu dengan tangisan dan Biyung pastilah mengerti sedikit banyak bahasa bayi. Tapi Sang Kuasa menyuruhku diam. Akupun akhirnya diam.

Bapakku entah apa yang direncanakannya, ia tidak lekas pulang pada ketiadaan setelah Biyung yang tak lain rasanya telah ditemu. Ia justru terkesan mengumbar rasa dan menjadi empat puluh pasang bayi kembar. Kesemuanya terproses di dalam rahim dari yang awalnya setetes air mani, menjadi bayi daging yang berisi rasa. Aku, bayi keempat puluh satu dan tidak terproses sama seperti saudara-saudaraku dan mungkin sebab itu tidak pula dicatat sejarah. Tapi, aku tetap bersyukur, setidaknya aku bisa mengulang sejarah Bapakku yakni sendiri dan akhirnya berdua dengan rasaku sendiri hingga Sang Kuasa memanggilku pulang.

***

Dua hari setelah pengumuman, tepatnya sehari setelah Hobil menyampaikan rasanya tentang Hikh pada Bapak, muncul pengumuman baru bahwa Sang Kuasa akan memutuskan perjodohan dengan cara penerimaan sesembahan. Keduanya, baik Hobil maupun Habil diberi waktu empat puluh hari. Hobil memilih bertanam bebuahan dan Habil berternak hehewanan. Hobil beruntung, tanah sangat subur, sehingga ia tidak perlu repot-repot menyirami taman buah yang dibuatnya di pinggiran sungai. Ia memiliki banyak waktu luang dan dimanfaatkannya mengobrol dengan tetumbuhan baik yang ditanam maupun yang tumbuh liar. Sedangkan Habil sibuk menjaga hewan ternaknya, baik domba, ayam, bebek, dan sebagainya dari binatang buas.

Di hari ketiga puluh tiga, taman buah Hobil diserang sekawanan monyet yang menghabiskan buah pisang dan mangga. Padahal, buah-buah itu yang paling terlihat segar dan berisi. [Memang sulit dipercaya, pisang dan mangga sudah berbuah lebat hanya dalam kurun satu bulan, tetapi itu benar-benar terjadi dan kau harus ingat bahwa sebelum banyak manusia, bumi sangatlah subur]. Padahal ada sepohon pisang yang seolah-olah bisa mengobrol nyambung dengan Hobil dan karena itulah Hobil semakin bersedih.

Hobil menyandarkan kepalanya pada pohon pisang termaksud dan hanya diam beberapa waktu lamanya. Antara sadar dan tidak, Hobil mendapati dirinya di tempat lain dan pohon pisang itu bermata, bermulut, dan berbicara: Mengapa kamu bersedih, Hobil? Kami dicipta memang sebagai makanan dan boleh dimakan siapa saja termasuk kera-kera itu. Kami adalah mata rantai makanan pertama yang artinya hanya memberi; dimakan tanpa memakan. Hobil mulai sedikit mengerti tentang persembahan. Bahwa hidup bagi tetumbuhan adalah seutuhnya persembahan. Dan kini, ia sedang diperintah Sang Kuasa untuk memberikan persembahan. Apa lagi yang bisa dipersembahkannya ketika bebuahan yang dirasainya telah hilang. Sedangkan waktu tidak mau memperlambat diri menunggu munculnya buah-buah baru.

Di tengah sungai, Hobil duduk diam di atas sebuah batu besar. Ia menikmati nada yang tercipta dari gemericik air sungai. Ia semakin tenang. Ia mula-mula menyesuaikan napasnya dengan nada-nada tertentu. Ia merasa terseret sebuah napas dan tiba-tiba terbawa arus sungai di sepanjang gelap. Hingga tiba pada sebuah tempat yang maha luas tiada batas. Entah bagaimana ia langsung menyukai tempat itu. Ia berdiri dan mendapati dirinya masih duduk. Ia kebingungan, menyadari dirinya menjadi dua. Dan kedua-duanya hidup. Keduanya saling pandang dalam diam. Hobil mengingat pesan Bapaknya saat ia masih menjadi Hobil kecil yang mengagumi bulan. Adam berpesan: segalanya yang kau lihat adalah palsu dan yang asli terangkum di dalam diri. Saat Hobil menanyakan maksud, Adam menjawab: simpan saja kalimat itu, kelak ada waktu perjodohanmu dengan maknanya dan tiba-tiba mengerti maksudnya. Segala kata memiliki kala untuk membuka rahasia.

***

Aku tidak tahu, apa yang diobrolkan Hobil dengan dirinya sendiri yang kata Bapak adalah wujud Yang Maha Diam. Aku sendiri baru berhasil memasuki diriku menaiki napas ketika berumur dua puluh tujuh tahun. Yang kemudian kutahu adalah Hobil telah mendapati ilmu sejati tentang persembahan. Bahwa persembahan seharusnya adalah laku memberikan apa yang paling kita rasai. Hobil, saudaraku yang kataku pendiam, telah benar-benar belajar dari dirinya yang sejati. Ia kemudian sadar bahwa buah-buahan itu memang tak layak menjadi persembahan utama. Sebab, hanya mengikat sekian rasanya. Ikatan terbesar rasa Hobil adalah Hikh seperti apa yang disampaikan pada Bapakku, Adam: Jika boleh jujur, rasaku sudah terikat bersamanya (Hikh) sejak di dalam rahim Biyung, Pak.

Iya, kau benar! Hobil akhirnya mempersembahkan Hikh pada Tuhan Sang Kuasa. Aku pun sulit mempercayainya, begitupun sejarah. Kelak, sejarah mengatakan bahwa Hobil adalah pecundang yang membunuh saudaranya sendiri sebab cemburu dan iri.

***

Hobil berdoa: Tuhan semesta alam, kini kupaham arti persembahan. Terima kasih Engkau kirimkan kera-kera untuk membuatku belajar padaMu yang berdiam di dalam diri. Kupersembahkan Hikh, perempuan yang terikat rasa olehku, untukMu yang mungkin akan Engkau berikan pada saudaraku, Habil. Aku rela, Tuhan. Inilah wujud sembahku. Sudilah Engkau menerima, Tuan Sang Tuhan.

(sumber gambar: pondokislami.com)
Bapak dan Biyung memandangi kedua saudaraku dari jauh. Hobil menaruh sesembahan berupa bebuahan yang belum terlalu masak di atas bukit berbatu Puncak Janaka. Sedangkan Habil memberikan sesembahan domba dan ayam di atas bukit bertanah. Entah doa apa yang dipanjatkan Habil. Kata Bapakku kelak, Habil hanya berdoa singkat: Oh Tuhan, terimalah sesemabahanku ini. dan Hobil tidak terlihat berdoa, hanya diam beberapa saat. Lalu mereka semua pergi dan menunggu esok untuk menengok.

Malam tiba dan terjadi badai di Puncak Janaka. Suara anginnya mencengkam malam persemabahan itu. Bapakku memberanikan diri menyampaikan keraguan atas keputusannya tentang perjodohan silang. Awalnya, Biyungku kaget tapi akhirnya tanpa diduga justru bisa menenangkan Bapakku dengan kalimat manisnya: Tidak apa sayang, keputusanmu juga mungkin bagian dari takdir itu sendiri. Awalnya aku pun berpikir bagaimana jika perjodohan ini kliru dan terbalik. Tapi, seolah diriku sendiri berkata di dalam hati bahwa berjodohan itu seperti sepasang kaki. Jika lelaki adalah kaki kanan, maka perempuan adalah kaki kiri. Setidaknya tetap bisa berjalan walau besar kecilnya berebeda, atau walau tinggi rendahnya kurang sama. Yang benar-benar tidak boleh adalah lelaki bersama lelaki dan perempuan bersama perempuan. Bagaimana kita bisa berjalan dengan dua kaki kiri atau dua kaki kanan saja. Bapakku terhening sesaat, lalu mencium kening Biyungku kuat-kuat.

***

Bagian ini sulit kuterima tetapi aku tetap harus menceritakannya. Bahwa sesembahan Habil, kabur sebab dinginnya badai. Entah bagaiman caranya hewan-hewan itu bisa kabur padahal sudah diikatkan pada sebuah pohon kecil di sana. Sedangkan persemabahan Hobil, masih utuh di lingkaran batu Puncak Janaka. Lalu… Iya, kau benar! Sejarah akhirnya mencatat bahwa persembahan Habil lah yang diterima Tuhan semesta alam dengan dalih tiada lagi di tempat persemabahan.

***

Hobil menangis. Entah mengapa ia tiba-tiba menangis. Adakah sedih sebab Hikh benar-benar dinikahkan dengan Habil atau senang sebab persembahannya yang asli, Hikh, telah diterima Tuhan semesta alam. Air mata memang selalu bermakna ganda. Dan Hobil sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Sedih dan senang seolah bercampur. Yang ia tahu kemudian adalah bahwa persembahan sejati selalu dibarengi air mata. Selalu.

Kelak, Habil yang tahu cerita asli itu akan meminta Hobil meluluskan hidupnya dengan ikatan sumpah yang rumit dan Hobil tiba-tiba mesti membunuh Habil, lagi-lagi sebagai persemabahannya untuk Sang Kuasa. Kalimat Hobil yang tulus masih diingatnya: Jika benar persembahanmu adalah Hikh, maka sejujurnya aku tak mencintai Hikh dan rasaku terikat pada Hyl. Maka, aku ingin mempersembahkan diriku sendiri untuk Sang Kuasa dengan bantuanmu, saudaraku Hobil. Sebab, Hyl telah terlambat untuk kupersembahkan. Maka, kini dirikulah yang jadi sesembahan. Bunuhlah aku, tolonglah aku tuk memberikan persembahan sejati pada Tuhanku.

Hobil akhirnya meluluskan permintaan saudaranya itu. Dan kemudian ia tersadar bahwa semua itu kliru. Mengakhiri hidup dengan sia-sia bukanlah bagian sebuah persembahan. Dan semuanya sudah terlambat. Ia dikutuk dirinya sendiri. Dan sejarah, telah dibohonginya bahwa ia sengaja membunuh saudaranya sebab api cemburu. Ia ingin dirinya terkutuk abadi dan saudaranya terus wangi. Rasa amarahnya menjelma burung gagak hitam yang mencabik gagak hitam (rasanya yang lain) sampai mati. Setelah amarahnya selesai. Kini, ia berpikir bagaiman caranya meminta maaf pada saudaranya itu. Dan peristiwa terkenal itu terjadi, burung gagak mengajarinya bagaimana meminta maaf kepada yang sudah mati. Tiada lain selain menguburkannya dengan doa-doa. Dan Hobil akhirnya meniru rasanya itu.

Jumat, 25 Mei 2018

KITAB DONGENG SIRMOYO




Di sorga, sedang mendung. Doa rerumputan yang ingin mengobrol dengan hujan terkabul. Adam masih termenung, tapi tapi tapi tanpa murung. Ia telah keluar dari lingkaran segitiga ketuhanannya. Sebesit angan membuatnya mengambil keputusan ini: turun menjadi tubuh serta memasuki dimensi ruang dan waktu. Ia tiba-tiba ada di puncak gunung Himalaya kuno bernama Pawitraan. Kelak, Himalaya dan Pawitraan dipisah demi keseimbangan bumi. Sebagai kunci keseimbangan, Pawitraan akhirnya dikunci empat gunung kecil berpakem mata angin. Semenjak itu, Pawitraan menjadi penanggung gejolak alam bumi.

Adam telah diam bersila selama tujuh kali musim hujan. Adam menjelajah bumi yang ada di dalam dirinya. Di sana, perjalanannya dimulai dari dasar laut yang gelap seperti lorong panjang dan lebar tak berbatas. Di awal perjalanan, ia kerap membuka mata sebab takut tersesat pada lorong gelap. Ia hanya memastikan bisa keluar. Dari nafasnya, ia mengenali lebih detail mana pintu masuk dan keluar yang ternyata hanya dibedakan aksara kuno kembar tetapi beda eja. Atau, pintu itu sebenarnya satu dan aksara tereja beda oleh pikiran yang berbeda. Satu pintu terbaca sebagai Kun. Satunya lagi, atau yang sama tapi beda eja, terbaca sebagai Fayakun.

Adam mengolah nafas menyeimbangkan antara hirup dan hembus. Ia tak sama sekali ingat mana yang lebih dulu dilakukan. Seingatnya hembus. Seyogyanya hirup. Apa yang dihembuskan jika tak berisi hirupan? Tapi tapi tapi Adam teringat samar bahwa memang hembus dulu. Tapi tapi tapi sungguh sulit dinalar. Lalu Adam menyimpulkannya secara manusiawi, sebab ia tak lagi berada dalam lingkaran ketuhanan yang segitiga tadi, bahwa pada saat itu yang terjadi adalah Tuhan menghembus dan menjadi hirupan manusia. Hirup di luar waktu, menjelma hembus di dalam waktu. Dan itu itu itu peristiwa itu itu itu sangatlah cepat terjadi dan selesai. Dan kita ingat kalimat ini kemudian: Ia tiba-tiba ada di puncak gunung Himalaya kuno bernama Pawitraan.

***

Di lingkaran ketuhanan yang segitiga, Amad dan Aamd masih diam. Mereka masih Mahatahu dan tahu kalau Adam tak lagi Mahatahu karena keluar lingkaran. Tapi tapi tapi, ia sudah berpamit terlebih dulu sebelum benar-benar menghembuskan dzatnya yang kekal menjadi hirup yang fanak. Adam kini tak tahu menahu dan ia berusaha mencari pengetahuan. Itulah keputusan Adam yang dipandang Amad dan Aamd sebagai kecerobohan. Aamd bersabda, Adam telah ceroboh membedakan angan dan angin. Amad bersabda, Adam telah tak waspada membedakan angan dan ingin. Adam bersabda, dahulu, ini bukan inginku dan ini adalah inginnya semesta yang ingin kita sambang. Ciptaan mana yang tak ingin bertemu Sang Pencipta sebagai sesama ciptaan?

Pertanyaan itu abadi di lingkaran ketuhanan, sebab lahir saat Adam masih menjadi Tuhan abadi. Kelak, Amad pun memasuki dimensi waktu. Menghembuskan dzatnya menjadi hirup seperti Adam. Keputusan itu diambil bukan sebab ingin sambang ciptaan tetapi ingin membantu Adam yang telah tidak Maha mengembalikan semesta pada yang semula walau tahu Adam telah ceroboh menghembuskan dzatnya menjadi hirup yang lain saat berhasil melewati lorong gelap kesemestaan diri dan bertemu dirinya yang masih Tuhan bertahta di kerajaan diri. Kelak, Aamd memuji Amad sebagai Yang Terpuji karena keputusan mulianya. Aamd sendiri tidak pernah menghembuskan dzatnya seperti Adam dan Amad, ia memilih masuk pada setiap diri manusia dan membantu sisa-sisa dzat ketuhanan Yang Diam, bersabda menuntun manusia pulang pada ketiadaan.

Aamd hanya bersambang pada ciptaanya dan muncul sebentar di Turisina dengan dzatnya yang hampir melebur semesta dengan silau cahaya ilahianya. Syahdan, seorang manusia yang menyadari tugas hidupnya sebagai salah satu nabi, hampir buta menyaksikan peristiwa itu di Turisina. Indra kemanusiaannya tak sanggup membaca sekelebat cahaya ketuhanan. Kelak, Amad mengajarkan manusia bahwa seharusnya manusia menemui Tuhan, bukan memanggil Tuhan menemui manusia agar semesta yang fanak tak rusak. Bahwa Tuhan tak jauh dari diri tapi tapi tapi tak juga dekat. Tuhan ada di luar jarak. Bahwa Tuhan tidak lebih tua dari manusia, tapi tapi tapi tak juga lebih muda. Tuhan di luar waktu. Di mana itu? Setiap kali ditanya itu, Amad menjawab “di sini”.

***

Adam berhasil menjelajah semesta kediriannya. Ia bertemu dzat ketuhanannya di dalam diri. Di sebuah ruang tengah yang dalam yang diselimuti banyak rasa; takut, ingin, marah, senang, sedih, putus asa, hampa, dan sebagainya. Dzat Adam, Yang Diam, bertahta di sana. Lalu, tiba-tiba muncul suara-suara bergaya puitis sebait-sebait. Adam sedikit samar mengenal suara tanpa bunyi tanpa nada tapa irama tanpa ritem itu milik Aamd. Sejak itu, Adam menamai tempat itu sebagai Bait Aamd [hampir lupa dijelaskan bahwa manusia tidak bisa mengeja Aamd dan selalu saja terucap Aala. Maka, Bait Aamd tereja sebagai Bait Aala].


(sumber gambar: bioenergi.co.id)


Setelah lama berdiam dan menerjemah bait-bait di Bait Aamd, Adam mampu menjadi Tuhan dan bisa kembali masuk lingkaran dan meninggalkan tubuh manusianya di puncak Pawitraan, tapi tapi tapi Adam kembali ke lingkaran hanya sebentar saja, sangat sangat sangat sebentar, hanya satu hembusan. Adam kembali menghembus pada waktu dan menjadi hirup manusia lain yang kemudian dinamai Haua. Tiba-tiba Adam tersadar dari diamnya dan mendapati bagian Adam yang lain di dekatnya bernama Haua. Nama itu sebenarnya muncul dari kekagetan Adam dan berkata “Haua” saat menyaksikan dirinya menjadi dua.

Kesadaran akan ketuhanan yang sedikit pada Haua menjadikannya tak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Sederet pertanyaan muncul: siapa aku, kenapa aku di sini, untuk apa aku ada, siapa dia (Adam), kenapa dia ada juga di sini, untuk apa dia ada bersamaku?. Aadm memberikan sebait peringatan pada Adam, dan suara ini sangat lirih sebab Adam sedang tersadar di Pawitraan bukan di Bait Aamd. Jika di Bait Aamd, walau tanpa bunyi pun akan tertangkap jelas bait-baitnya tapi tapi tapi ini memang sulit dinalar. Sebait dari Aamd tereja: jangan dekati pohon [Haua] itu atau dzatmu akan bercecer menjadi banyak manusia dan kau akan kualahan menjemput masing-masing darinya sebab tugas hidup manusia yang tercipta adalah menjemput rasa yang menjelma manusia lalu mengajaknya pulang pada ketiadaan.

Adam tak yakin suara itu benar dari Aamd. Ia mendekati Haua. Tapi tapi tapi Haua ketakutan dan berlari tak karuan hingga terpeleset dan terjatuh pada sungai kecil aliran sumber yang membawa Haua menuju air terjun dan terbawa arus entah ke mana. Adam tak berhasil memegang tangan Haua yang terseret arus sungai deras. Adam termenung: Hilang ke mana rasaku? Harus kujemput ke mana ia lalu? Harus jalan ke mana aku lebih dulu?

Adam kembali mengatur napas dan bersila memasuki diri menuju Bait Aamd. Di sana ia bertaubat: mengakui kecerobohannya tak mempercayai pendengaran hatinya tentang sebait peringatan. Lalu ia kini lebih hati-hati mendengar dan waspada menafsir bait-bait yang berdatangan. Sebait lagi turun: maka keluarlah dari sorga dan mencari rasamu itu, jemput ia pulang pada dirimu sebagai asalnya, lalu pulanglah pada kami [Aamd dan Amad] sebagai asalmu karena sejatimu adalah kami dan kami adalah kamu.

Akhirnya, Adam turun dari sorga (sebutannya pada puncak Pawitraan) untuk menjemput Haua. Ia menuruni gunung penanggung segala gunung itu dengan hati sedih. Di sepanjang jalan, ia terhibur, sebab diajari banyak nama-nama oleh Yang Diam di dalam dirinya sendiri: oh ini namanya rumput yang berdoa hujan dulu, oh ini namanya batu yang berdoa diam sepanjang waktu, oh ini namanya kelapa yang berdoa dengan tarian angin, oh ini namanya rindu. Aku rindu pada Haua, diriku yang lain itu.

[[bersambung…]]

***


Separagraf Catatan:
Dongeng ini digubah sebagai zakat tulisan dengan keyakinan bahwa segalanya memiliki zakat dan atas kesadaran terlahir sebagai manusia yang diperintah membaca. Bukankah pembaca wajib berzakat tulisan seperti wajibnya pendengar berzakat ucapan? Maka, jika zakat ini dirasa kurang layak atau pantas bagai para penerima zakat, mohon berlapang memafkan dan lekas memaklumi. Jika panjang umur, dongeng ini bakal diteruskan segera. Jika tidak sabar, kalian bisa mencari di dalam masing-masing diri tapi tentu berbeda bahasa dan mungkin versi. Karena dongeng ini bersaripati beberapa kitab, salah satunya dipakai judul di atas: Sirmoyo. Kitab ini tidak akan ditemui secara aksara karena memang tidak boleh (patut) dituliskan. Sirmoyo dari dua kata, Sir yang berarti rahasia dan Moyo berarti samar. Artinya, memang kitab ini adalah kitab yang berisi kerahasisan yang samar. Adanya, hanya di dalam diri.

Sabtu, 07 April 2018

Berkisah Sepi Lewat Puisi



“Huruf-huruf membuat setiap kata mendapatkan kaki dan ladangnya.”
—Afrizal Malna


Perjalan diri menjadi perjalanan puisi. Kesepian tak selalu mengajak diri berakhir dengan tangisan, kegalauan, maupun curhatan di media sosial. Kesepian bisa berakhir dengan puisi. Laku berdamai dengan sepi diikhtiarkan Citra Pertiwi Amru (CPA) dan barangkali berhasil dengan terbitnya antologi puisi Kisah Kelana (Penerbit Mlaku: 2018). Buku setipis 50 halaman berisi 29 puisi yang berkisah perjalanan diri. Buku diterbitkan dan dipersembahkan untuk guru bahasanya yang diakhiri kalimat keraguan: apa ia mau menerima?

Hidup adalah perjalanan kata. Barangkali begitu suguhan pengantar dari Uun Nurcahyanti, “Perjalanan sepi bersaut kata dan tanda baca, lantas melahirkan puisi. Puisi menjadi titian penting pencatatan ulang sepi yang terbangun di mazhab keriuhan.” Tulisan juga menjadi peringatan bahwa buku ini berkisah perjalanan sepi. Membaca Kisah Kelana berarti membaca kisah perjalanan manusia kesepian, melawan sepi, dan berdamai dengan sepi.

Perjalanan Sepi
Perenungan tentang sepi dimulai oleh jeda diri. Setelah sekian kesibukan dalam sebuah rutinitas, CPA berkesempatan istirahat; memberi jeda untuk membaca diri. Kita simak cuplikan puisi pembuka “Kecupan Juang”: Gunungan kesibukan menunggui/ di awal pagi/ kau dan aku tenggelam dalam gunungan kesibukan/ hingga mereka lupa kembali pada nurani/ inilah kesibukan melingkari manusia-manusia sekarang/. Rutinitas menjadi kesibukan yang melingkar dan sekian banyak manusia tenggelam dalam putaran rutinitas, termasuk CPA. Keinsyafan menuntunnya pada pembacaan diri. Membaca diri barangkali tak semudah mengeja buku. Tubuh menyimpan kitab sejarah. Membaca diri tak bisa dengan sekedar niat, melainkan butuh perjuangan. Puisi ditutup bait kesadaran jalan juang: …kisah–kisah nenek moyang tidur dalam singgahsananya/ Menunggu kecup manis seorang juang/.

Sampul depan bergambar Prabu Arjuna (koleksi Universitas Leiden, Belanda)


Kembali pada diri berarti kembali mempertanyaan hal-hal ke-diri-an. Dalam puisi berjudul “Tubuh Sepi”, penyair menyajikan pertanyaan sepeleh namun serius: Siapa aku?/ Siapa aku?/ Jangan-jangan aku hanya roh meminjam tubuh sesiapa?/ Jangan-jangan aku merasai sepi karena tak tahu diriku siapa?/ . Kesepian tak melulu berkisah tentang kesendirian dari pasangan ataupun kekasih. Sepi bisa berarti asing dengan diri sendiri. Menjawab pertanyaan siapa dalam imajinasi memang tak semudah menjawab siapa dalam buku-buku sekolah seperti Lembar Kerja Siswa (LKS). Waktu semalaman belum tentu cukup untuk menjawab pertanyaan sepeleh itu. Di bait akhir, CPA berkisah kegagalan menjawabnya: Malam menelanjangi waktu yang kupunya/ mampuslah aku berperang dengan sepi/ aku benar-benar tak mengenal siapa aku/ aku dan tubuhku belum saling mengenal/ aku ini siapa?/ aku mau kemana?/. Pertarungan melawan sepi menambah kegelisahan diri, memperkeras suara tanya tentang siapa aku. Pertanyaan tak terjawab dan justru bertambah luas; aku mau kemana?
 
Di puncak segala putus asa, manusia seringkali bertemu pasrah. Pamrih menjawab pertanyaan diri yang gagal, melemaskan diri dan bahasa. Dalam puisi yang judulnya dipakai judul buku ini; Kisah Kelana, penyair mengabarkan kepasrahan di bait penutup: Biarlah aku papa ditikam sepi/ supaya kelak sawahmu tak lagi/ menahan tangis/ dan rumah menjadi tempatmu pulang/ sehabis kelana/. Penyair mengalah dan memilih berumah pada sepi. Barangkali di waktu yang sama, CPA menyudahi peperangan anatar diri dan sepi. Damai!

Menjawab Siapa Aku
Pasrah bisa jadi jalan kebersyukuran di mana Tuhan berjanji memberi kejutan tambahan nikmat. Dalam falsafah Jawa kita mengenal kalimat nerimo ing pandum (menerima dengan lapang dada pembagian Tuhan). Kepasrahan CPA, barangkali menjadi penyebab ia dibanjiri jawaban atas “Siapa aku?”. Tafsir-tafsir keakuan dihadirkan. Kita simak cuplikan puisi setelah Kisah Kelana dengan judul Bilangan Monyet: Mereka bilang saya monyet/ karena pandai bersyukur/ bukan itu/ sekali lagi bukan/ bukan karena bersyukur tetapi terlalu/ puas akan setitik paham/. Sepuluh hari setelah kepasrahannya, Kisah Kelana ditanggali 9 Maret 2017 dan Bilangan Monyet ditanggali 19 Maret 2017, penyair mengaku mendapati setitik paham walau bernada getir: Mereka bilang saya monyet. CPA menjawab “Siapa aku?” dengan dari diri lain: kata mereka.

            Sedikit demi sedikit, penyair mendapati jawaban jati dirinya. Tentu saja versi hati nuraninya. Kisah kelahirannya diceritakan di puisi “Malammu”: Aku lahir dari 26 huruf/ terangkai menjadi kata/ entah jelmaanku menjadi frasa, kalimat/ atau paragraf/ bahkan nanti aku menjelma/menjadi puisi untukmu/. Jalan sepi yang dilaluinya berbekal bahasa menjadikannya merasa terlahir sebagi huruf, frasa, kalimat, paragraf, juga puisi. Komponen bahasa dari yang paling sederhana berkembang dalam gabungan-gabungan. Ia yang awalnya huruf, menjadi kata. Ia masih berpikir menjadi kata dan entah nantinya bakal menjadi frase, kalimat ataupun doa seperti yang dituliskannya dalam puisi Iqro’: Huruf-huruf yang berhimpitan menulis/ rangkaian doa/ doa orang yang bebas dari pikirannya/ doa orang yang terbelenggu dari/ pikirannya/ jari-jariku turut mengaminkan beberapa/ bait-bait doa/.

Puisi tiba-tiba bergelimang doa. Kita tidak perlu membenarsalahkan jawaban penyair atas pertanyaannya sendiri. Kita pun sangat boleh mengamini doa-doa yang dipanjatkan Citra Pertiwi Amru dalam puisinya, terlepas apapun maksud hatinya. Amin.